SANKSI ATAS PELANGGARAN ATURAN RAHASIA BANK
Bank adalah bagian dari sistem keuangan dan sistem
pembayaran suatu negara. Bahkan pada era globalisasi sekarang ini, bank juga
telah menjadi bagian dari sistem
keuangan dan sistem pembayaran dunia. Mengingat hal itu, setelah suatu bank telah memperoleh izin berdiri
dan beroperasi dari otoritas moneter dari Negara yang bersangkutan, maka bank tersebut menjadi “milik”
masyarakat. Oleh karena itu eksistensinya bukan hanya harus dijaga oleh para
pemilik bank itu sendiri dan pengurusnya, tetapi juga oleh masyarakat nasional
dan global.
Kepentingan masyarakat untuk menjaga eksistensi suatu bank
menjadi sangat penting, terlebih
bila diingat bahwa ambruknya suatu bank akan mempunyai akibat rantai atau
domino effect, yaitu menular
kepada bank-bank yang lain yang pada gilirannya tidak mustahil menjadi sangat mengganggu fungsi sistem keuangan
dan sistem pembayaran dari negara
yang bersangkutan. Hal ini adalah pernah terjadi di tahun 1929-1933 ketika
kurang lebih 9000 bank di Amerika Serikat, atau kurang lebih setengah dari
jumlah bank yang ada pada waktu itu gulung tikar.
Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya
tergantung mutlak pada kepercayaan dari para nasabahnya yang mempercayakan dana
simpanan mereka pada bank. Oleh karena itu, bank sangat penting karena kadar kepercayaan masyarakat (baik yang telah maupun yang akan menyimpan
dananya)
terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian
dari sistem keuangan dan sistem pembayaran, masyarakat luas berkepentingan atas
kesehatan dari sistem-sistem tersebut, dan
kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi
suatu bank, maka terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan
adalah juga kepentingan masyarakat banyak. Ada beberapa faktor yang sangat
mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap suatu bank. Faktor-faktor
tersebut adalah :
- Integritas
pengurus.
- Pengetahuan
dan kemampuan pengurus baik berupa pengetahuan kemampuan manajerial maupun
pengetahuan dan kemampuan teknis perbankan.
- Kesehatan
bank yang bersangkutan.
- Kepatuhan
bank terhadap kewajiban rahasia bank.
Perbankan merupakan pokok dari sistem keuangan setiap negara,
karena perbankan merupakan salah satu motor penggerak pembangunan seluruh
bangsa. Tidak dapat disangkal
bahwa dalam mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat
yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang–Undang Dasar 1945,
perbankan mempunyai peran yang sangat penting.
Sebagai salah satu motor penggerak pembangunan bangsa, lembaga
perbankan mempunyai peran yang sangat strategis karena bank mempunyai fungsi
untuk menghimpun dana dari masyarakat sebagai nasabah dalam bentuk simpanan dan
menyalurkan kembali dana tersebut kepada
masyarakat yang membutuhkannya. Bank
diharapkan dapat menyerasikan, menyelaraskan dan menyeimbangkan unsur pemerataan
pembangunan dan hasil–hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional
yang pada akhirnya mengarah kepada peningkatan taraf hidup masyarakat banyak.
Sebagaimana dikemukakan diatas, salah satu faktor untuk
dapat memelihara dan meningkatkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap
suatu bank pada umumnya ialah kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia
bank. Maksudnya adalah menyangkut “dapat atau tidaknya bank dipercaya
oleh nasabah yang menyimpan dananya pada bank tersebut untuk tidak
mengungkapkan simpanan nasabah identitas nasabah tersebut kepada pihak
lain”.
Dengan
kata lain, tergantung kepada kemampuan bank itu untuk menjunjung tinggi
dan mematuhi dengan teguh “rahasia bank”. Rahasia bank akan dapat lebih
dipegang teguh oleh bank apabila ditetapkan bukan sekedar hanya sebagai
kewajiban kontraktual diantara bank dan nasabah, tetapi ditetapkan sebagai
kewajiban pidana. Bila hanya ditetapkan sebagai kewajiban kontraktual belaka,
maka kewajiban bank itu menjadi kurang kokoh karena kewajiban kontraktual
secara mudah dapat disimpangi.
Perbankan dituntut untuk dapat bekerja secara profesional, dapat
membaca dan menelaah, serta menganalisis semua kegiatan dunia usaha serta
perekonomian nasional. Oleh karena itu, maka lembaga perbankan perlu dibina dan diawasi secara terus–menerus
agar dapat berfungsi dengan efisien, sehat, wajar, mampu bersaing dan dapat melindungi
dana yang disimpan oleh nasabah dengan baik serta mampu menyalurkan dana simpanan
tersebut kepada sektor–sektor produksi yang benar–benar produktif sesuai dengan
sasaran pembangunan. Sehingga dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman
tersebut tidak sia–sia.
Sebaliknya, nasabah yang mempercayakan dana simpanannya untuk dikelola oleh
pihak bank juga harus mendapat perlindungan dari tindakan yang dapat merugikan
nasabah yang mungkin dilakukan pengelola bank. Selain itu untuk menjaga nama
baik nasabah, maka harus diatur kapan dan dalam hal yang bagaimana bank
diperkenankan untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal–hal lain dari nasabah yang
diketahui oleh bank. Nasabah hanya akan mempergunakan jasa bank untuk menyimpan
dananya apabila ada jaminan dari bank bahwa pihak bank tidak akan
menyalahgunakan pengetahuannya tentang simpanan dan keadaan keuangan
nasabahnya.
Dalam rangka menghindari terjadinya penyalahgunaan keuangan
nasabah, maka dibuatlah aturan khusus yang melarang bank untuk memberikan
informasi tercatat kepada siapapun berkaitan dengan keadaan keuangan nasabah,
simpanan dan penyimpanannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan kecuali dalam hal-hal tertentu yang
disebutkan secara tegas didalam undang-undang tersebut. Hal inilah yang disebut dengan “Rahasia Bank”.
Pembangunan ekonomi suatu negara disamping memerlukan program
pembangunan yang terencana dan terarah untuk mencapai sasaran pembangunan, maka
faktor lain yang dibutuhkan adalah modal/dana pembangunan yang cukup besar.
Peningkatan pembangunan ekonomi ataupun pertumbuhan ekonomi perlu ditunjang
dengan peningkatan dana pembangunan. Umumnya suatu negara mengalami
keterbatasan dalam penyediaan dana pembangunan, untuk itu diperlukan mobilisasi
dana dari masyarakat.
Disinilah diperlukannya peranan perbankan, terutama dikarenakan kemampuannya
untuk menggali sumber-sumber dana dari dalam dan luar negeri serta menyalurkannya dalam
bentuk pinjaman kepada para pelaku usaha yang membutuhkannya agar mampu menjadi salah satu katalisator
penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
Oleh karena itu kelancaran dan keamanan kegiatan perbankan
haruslah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua aparat penegak hukum, karena apabila terjadi tindak
pidana dalam bidang perbankan akan menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi
negara. Oleh sebab itu segala usaha preventif maupun represif harus digalakkan
untuk menanggulangi kejahatan perbankan tersebut.
Pelanggaran terhadap rahasia bank merupakan salah satu bentuk
kejahatan. Yang menjadi masalah bukan hanya karena adanya pembocoran rahasia,
akan tetapi kenyataan bahwa rahasia bank itu kadang kala dijadikan sebagai
tempat berlindung bagi penyelewengan administrasi dan kolusi pada perbankan. A. Pengertian Rahasia Bank
Rahasia
Bank atau Banking Secrecy dikenal di negara manapun di dunia ini yang mempunyai
lembaga keuangan bank. Rahasia bank tidak ada bedanya dengan rahasia yang
harus dipegang teguh oleh para professional seperti dokter yang wajib merahasiakan
hal-hal yang menyangkut penyakit pasiennya. Bahkan kalau rahasia dimaksud tidak
dipegang teguh dan dibocorkan kepada pihak lain, maka atas tindakan tersebut
dpat dikenakan sanksi, baik perdata maupun pidana.
Di
Indonesia pun dikenal ketentuan rahasia bank yang terdapat dalam Undang-Undang
Perbankan. Dasar hukum dari ketentuan rahasia bank di Indonesia mula-mula
adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi kemudian telah diubah
dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Pengertian rahasia bank oleh
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 diberikan oleh Pasal 1 ayat (16) yang lengkapnya
berbunyi sebagai berikut : “Rahasia
bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain
dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan.”
Pengertian ini telah diubah dengan pengertian
baru oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-Undang itu rumusan yang
baru diberikan dalam Pasal 1 ayat (28) Undang-undang No. 10 tahun 1998 yang
lengkapnya berbunyi sebagai berikut : rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpanan dan simpanannya. Selain memberikan
rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang Perbankan juga memberikan rumusan
mengenai delik rahasia bank. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 memberikan rumusan
delik rahasia bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1). Bunyi
lengkap dari rumusan delik rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
adalah :
“Bank dilarang memberikan
keterangan yang
tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya,
yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan,
kecuali dalam hal sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, 42, 43 dan 44.”
Rumusan delik rahasia bank
tersebut telah diubah dengan rumusan yang baru, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Rumusan yang baru itu
lengkapnya berbunyi sebagai berikut : bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali
dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43,
Pasal 44 dan Pasal 44 A. Ada anggapan sebagian orang bahwa kerahasiaan bank
bisa merugikan masyarakat, nasabah nakal bisa berlindung pada ketentuan rahasia
bank, kerahasiaan bank harus di buka untuk kepentingan para penitip dana dan
sebagainya. Sedangkan di pihak lain menghendaki dan menegaskan bahwa bank harus
memegang teguh rahasia bank karena masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya
pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari pihak bank ada jaminan bahwa
pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan
disalahgunakan.
Disamping itu, ada
beberapa harian dan majalah ramai mempermasalahkan rumusan mengenai kriteria
rahasia bank, sehingga kerap kali menimbulkan berbagai macam interpretasi dan
kontroversi. Ada pihak yang menghendaki agar pemerintah dapat memberikan suatu original interpretation mengenai rahasia
bank. Ada pula yang berpendapat harus mencari rumusan historis
mengenai rahasia bank dengan menanyakan langsung kepada pembuat undang-undang.
Bahkan ada pihak yang mendesak agar pemerintah segera memberikan penjelasan
yang lebih rinci tentang rahasia bank agar pemerintah mengkaji ulang ketentuan
rahasia bank untuk mengantisipasi perkembangan kondisi aktual, agar
ketentuan rahasia bank dirombak karena dianggap sifatnya “keblinger” dan banyak
lagi pendapat yang pada dasarnya beranggapan bahwa ketentuan rahasia bank yang
diatur dalam Undang-Undang Perbankan belum sempurna dan masih rancu sehingga
perlu direvisi ulang lagi. Pada saat ini, praktis negara
berlaku ketentuan rahasia bank. Dengan demikian rahasia bank bersifat
universal, namun berbeda-beda dasar hukumnya untuk setiap negara.
Pelanggaran rahasia bank
yang diatur oleh masing-masing negara dapat
dikelompokkan dalam dua kelompok. Kelompok pertama menentukan pelanggaran
rahasia bank sebagai pelanggaran perdata (civil violation).
Negara-negara tersebut membiarkan kewajiban yang timbul dari hubungan
kontraktual belaka diantara bank dan nasabah, namun kewajiban kontraktual
tersebut dapat dikesampingkan
apabila kepentingan umum menghendaki dan apabila secara tegas dikecualikan oleh
ketentuan undang-undang tertentu. Hal yang demikian misalnya dapat kita lihat
ketentuan rahasia bank menurut hukum Inggris, Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Negeri Belanda, Belgia, The Bahamas, The Cayman Island dan beberapa negara
lainnya. Sedangkan kelompok yang kedua menentukan pelanggaran rahasia bank
sebagai pelanggaran public atau
pidana (criminal violation), misalnya Swiss, Austria, Korea
Selatan, Perancis, Luxemburg dan Indonesia sendiri dan beberapa negara
lainnya.
B. Peraturan Rahasia Bank
1.
Menurut Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992
Ketentuan rahasia bank menurut Undang-Undang
menurut No. 7 Tahun 1992 (Pasal 40) disebutkan bahwa : “Bank di larang
memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan
hal-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut
kelaziman dalam dunia perbankan”. Bahkan dalam penjelasannya dijelaskan bahwa :
“Yang menurut kelaziman wajib
dirahasiakan oleh bank adalah seluruh data dan informasi mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan
yang diketahui oleh bank karena kegiatan usahanya”. Bahkan dalam penjelasan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Pasal 40 jelaslah bahwa ketentuan rahasia bank
sangat luas karena bukan saja keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, melainkan juga termasuk “seluruh data dan informasi mengenai
segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan
badan yang diketahui oleh karena kegiatan usahanya” dari nasabah yang
bersangkutan. Pemerintah bahkan pernah mengeluarkan penafsiran resmi tentang
rahasia bank seperti tertuang dalam :
a.
Surat
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor R-25/MK/IV/7/1969
(rahasia) tertanggal 24 Juli 1969.
b.
Surat
Menteri keuangan Republik Indonesia No. R-29/MK/IV/9/1969 (rahasia) tertanggal
03 September 1969.
c.
Surat
Edaran Bank Indonesia No. 2/377/UPPB/Pb.B tanggal 11 September 1969.
Dalam surat-surat tersebut pada
dasarnya menjelaskan kata-kata “hal-hal lain yang harus dirahasiakan oleh bank
menurut kelaziman dalam dunia perbankan” antara lain :
a.
Pemberian
pelayanan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri.
b.
Mendiskontokan
dan jual beli surat-surat berharga.
c.
Pemberian
kredit.
Luasnya pengertian ketentuan
rahasia bank tersebut telah menimbulkan ketidakpastian, apakah persetujuan
nasabah dapat mengecualikan ketentuan rahasia bank atau tidak.
Mengingat delik rahasia bank
dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 itu bukan merupakan delik aduan, maka
adanya persetujuan nasabah yang bersangkutan tidak dapat membebaskan bank dari
kewajibannya untuk menyimpan
rahasia. Dengan kata lain, sekalipun nasabah telah memberikan
persetujuan kepada bank untuk dapat mengungkapkan keadaan keuangannya, tetap saja bank
dianggap telah melakukan pelanggaran rahasia bank dan karena itu
terancam dikenai pidana. Penjelasan dibawah ini dapat lebih memperjelas
permasalahannya. Dalam pengecualian-pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank
yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1992, tidak disebutkan secara eksplisit bahwa rahasia
bank tidak berlaku bila ada persetujuan nasabah kepada bank untuk mengungkapkannya.
Sehubungan dengan itu, timbul suatu pertanyaan apakah sekalipun telah ada
persetujuan dari nasabah, bank tetap tidak dapat terlepas dari kewajiban untuk
merahasiakan keadaan keuangan nasabah yang telah memberikan persetujuan itu?
Pertanyaan tersebut merupakan salah satu legal
issue penting yang menyangkut ketentuan kerahasiaan Bank Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992. Tidak demikian halnya dengan ketentuan rahasia
bank menurut hukum Inggris dan hukum dari negara-negara yang menetapkan
ketentuan rahasia bank sebagai kewajiban perdata atau kewajiban kontraktual.
Dengan kata lain, menurut ketentuan hukum Inggris, rahasia bank
tidak berlaku apabila pengungkapannya oleh bank disetujui oleh nasabah.
Tetapi selalu terdapat keragu-raguan bagi bank
untuk mengungkapkan keadaan keuangan sesuatu bank kepada pihak lain sekalipun
telah ada persetujuan dari nasabah ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1992
tidak secara tegas memberikan kepastian, apakah adanya persetujuan nasabah
menghapuskan kewajiban bank untuk tetap merahasiakan sebagaimana ditentukan
menurut ketentuan rahasia bank.
2. Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998
Undang-undang No. 10 Tahun 1998 yang berupa perubahan atas
Undang- Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan diundangkan pada tanggal 10 November 1998.
Sehubungan dengan adanya permasalahan tentang rahasia bank dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diatas, maka pembuat
undang-undang menganggap perlu untuk mencantumkan ketentuan baru dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Pasal 40, 41, 41 A, 42, 42 A, 44 A, 47, 47 A dan
48 yang mengatur
mengenai rahasia bank dengan segala pengecualian serta sanksinya. Definisi rahasia bank menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 seperti yang terdapat
dalam Pasal 1 ayat (28) adalah : “Segala
sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya.”
Apa yang dimaksud dengan kata-kata “segala
sesuatu yang berhubungan dengan” dalam definisi tersebut, dalam penjelasan pasal tersebut
hanya disebut “cukup jelas”. Pasal 40 ayat (1) menentukan bahwa : “Bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan penyimpan dan
simpanannya.” Keterangan seperti apa yang wajib dirahasiakan oleh bank dari
nasabah penyimpan dan simpanannya. Dalam penjelasan ayat tersebut dinyatakan
bahwa “keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, bukan
merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank.” Bahkan disebutkan bahwa
“apabila nasabah bank adalah nasabah penyimpan yang sekaligus juga sebagai
nasabah debitur, bank tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam
kedudukannya sebagai nasabah penyimpan.” Keterangan macam apa yang wajib
dirahasiakan oleh bank? Dalam definisi tersebut juga disebutkan “segala sesuatu
yang berhubungan dengan keterangan.” Begitupan apa yang dimaksud dengan
“keterangan” mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Dari apa yang diuraikan di atas, kiranya
dapat ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan “keterangan” adalah “informasi”,
sehingga yang wajib dirahasiakan oleh bank adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpananya, seperti kapan
simpanan ditempatkan, simpanan ditempatkan dengan tunai atau melaui transfer
atau LLG (Lalu Lintas Giro) atau dengan menyetor cek/bilyet giro dan sebagainya. Hanya saja
ditegaskan dalam penjelasan pasal rahasia bank tersebut, bahwa apabila nasabah penyimpan
juga sebagai nasabah debitur, maka segala sesuatu informasi mengenai nasabah
penyimpan tersebut dalam kedudukannya sebagai nasabah debitur bukan merupakan
hal yang wajib dirahasiakan oleh bank. Sehingga apabila nasabah penyimpan
kebetulan juga sebagai nasabah debitur seperti nama dan alamat serta jumlah
pinjamannya, jaminan pinjaman yang diserahkan kepada bank, sejak kapan pinjaman
diberikan, lancer/macet pinjamannya, bukan merupakan informasi (keterangan) yang
berwajib dirahasiakan bank.
A.
Upaya Bank Menjaga Rahasia Bank.
Rahasia bank merupakan hal yang penting karena bank sebagai
lembaga kepercayaan wajib merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan
nasabah penyimpan dan simpanannya. Oleh karena itu, baik bank sebagai entity
dan pihak terafiliasi, termasuk pegawai dan manajemen bank yang
bersangkutan wajib mengetahui mengenai peraturan rahasia bank ini, untuk
menghindari sanksi pidana dan atau administratif serta sanksi sosial dari masyarakat. Melakukan penerapan
dalam hal-hal (informasi) yang bersifat rahasia terutama pada bank sangatlah
sulit karena belum ada suatu keseragaman yang menetukan hal-hal (informasi) apa
saja yang dapat dikategorikan sebagai suatu yang dirahasiakan oleh bank dari
informasi dan data-data seorang nasabah.
Kewajiban bank untuk merahasiakan mengenai penyimpanan dan
simpanannya dapat bersifat eksplisit dan implisit. Pada umumnya perjanjian bank
dan nasabah tidak dicantumkan secara eksplisit. Kewajiban merahasiakan tersebut
misalnya terlihat pada perjanjian pembukaan rekening koran, tabungan dan
deposito antara bank dan nasabah. Dengan demikian, walaupun dalam perjanjian
tidak diatur secara eksplisit, tetapi berdasarkan azas itikad baik didalam
melaksanakan perjanjian, maka perjanjian antara bank dan nasabahnya dianggap
mencantumkan secara diam-diam kewajiban merahasiakan tentang penyimpan dan simpanannya. Hal
ini sejalan dengan Pasal 7 huruf (a) Undang –Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa salah satu kewajiban pelaku usaha
adalah beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.
Dalam kaitannya dengan masalah rahasia bank, walaupun rahasia bank
itu sudah diatur dalam perjanjian antara bank dan nasabah ataupun masalah rahasia
bank ini sudah diatur dalam undang-undang, namun kepentingan umum tetap harus didahulukan sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Dalam hal nasabah debitur, ada kemungkinan bank digugat melakukan perbuatan melanggar hukum
oleh nasabah debitur bilamana dengan pengungkapan keterangan mengenai nasabah
debitur dipandang oleh nasabah debitur merugikan dirinya. Gugatan ini
dimungkinkan berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang secara tegas mengatur, bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Bank juga dimungkinkan diancam pidana dengan menggunakan delik
lain, yakni pengungkapan keterangan mengenai nasabah debitur dapat
dipersangkakan sebagai kejahatan rahasia jabatan sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 322 KUHP yang berbunyi :
(1) Barangsiapa dengan
sengaja membuka sesuatu rahasia, yang menurut jabatannya atau pekerjaannya,
baik yang sekarang maupun yang dahulu, ia diwajibkan menyimpannya, dihukum
penjara selama – lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak– banyaknya Rp
9.000,-
(2) Jika kejahatan ini
dilakukan terhadap seorang yang ditentukan, maka perbuatan itu hanya dituntut
atas pengaduan orang itu.
Rahasia bank semata-mata diletakkan pada kepentingan umum. Prinsip kerahasiaan bank
yang bertujuan untuk melindungi kepentingan individu seorang nasabah
dikorbankan demi menyeimbangkannya dengan kepentingan umum dalam hal
penyelesaian perkara pidana.
Di Indonesia, pengecualian rahasia bank dengan alasan kepentingan umum ini
masih perlu disempurnakan, karena masih banyak kepentingan umum lain yang dapat
dijadikan alasan untuk membuka rahasia bank yang belum tercantum pada Undang-Undang Perbankan,
misalnya kepentingan Dewan Perwakilan Rakyat, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, Otoritas Asing, Badan Artbitrase dan
pemegang saham.
Di Indonesia, pengaturan rahasia bank lebih dititkberatkan pada
alasan untuk kepentingan bank, seperti terlihat dalam penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, yang menyebutkan bahwa kerahasiaan ini diperlukan
untuk kepentingan bank itu sendiri yang memerlukan kepercayaan masyarakat yang
menyimpan uangnya di bank. Pertimbangan yang demikian dikarenakan Indonesia mempunyai nilai-nilai
budaya yang mengutamakan kolektivitas atau kebersamaan. Dalam hal ini, kepentingan bank dianggap
sama dengan kepentingan umum karena begitu pentingnya peranan bank di dalam
perekonomian suatu negara, yang dalam hal ini perbankan berfungsi sebagai
perantara keuangan (financial intermediary), sarana untuk transmisi
kebijakan moneter dan pelaku utama di dalam sistem pembayaran nasional.
Mengenai Pasal 43 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, penerapannya sempit, karena dianggap
merugikan kepentingan masyarakat luas terutama bagi kepentingan dunia bisnis.
Pasal tersebut seolah-olah mengandung diskriminasi karena hanya melindungi kegiatan
perusahaan perbankan saja dan tidak melindungi kepentingan perusahaan jenis
lain dalam arti luas. Kalau bank yang bersangkutan prinsip kerahasiaan banknya
boleh dilanggar dan diluar itu tidak. Hal ini jelas tidak adil, seolah-olah undang-undang tidak peduli
terhadap kesengsaraan yang dialami masyarakat luas. Padahal banyak perusahaan
dengan sengaja tidak membayar kewajiban (utang) kepada mitra bisnisnya di
sektor distribusi, agen atau kontraktor walau perusahaan-perusahaan tersebut
akhirnya lancar (current assets) di berbagai bank.
Oleh sebab itu, rahasia bank hanya menyangkut nasabah penyimpan
dan simpanannya saja. Maka dalam kasus kredit sering sekali terjadi kredit macet. Rahasia
bank terlampau berpihak melindungi debitur. Hal ini menyebabkan para debitur
nakal menjadi terlindungi yang dapat mengancam kepentingan umum dan
perkembangan pembangunan bangsa.
Jelas tampak kredit macet secara langsung atau tidak langsung
sangat merugikan kepentingan negara dan masyarakat. Jadi, bukan hanya sekedar permasalahan antara debitur nakal dengan bank
saja, tetapi juga menyangkut kepentingan perekonomian dan peningkatan
pemerataan kesejahteraan rakyat luas. Sehingga, tidak layak rasanya membiarkan
dengan memanjakan dan melindungi para debitur nakal dan beritikad buruk. Oleh
sebab itu, jika ada debitur yang seperti itu, masyarakat luas berhak untuk
mengetahuinya secara terbuka.
Setiap bank wajib memegang teguh prinsip rahasia bank. Adapun
salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan bank didalam menjaga keamanan
rahasia bank adalah apabila ada orang yang menanyakan identitas dari nasabah,
atau aktivitasnya di bank selain dari ketiga pihak yang berwenang yaitu
Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan, maka bank tidak memberikan informasi
apapun. Bank akan merahasiakannya. Dengan melakukan upaya menjaga keamanan
rahasia bank berarti secara tidak langsung juga menjaga keamanan keuangan
nasabah karena rahasia bank mencakup perlindungan terhadap nasabah dan
simpanannya.
Disamping itu, upaya lain yang dilakukan oleh bank untuk menjaga
keamanan rahasia bank tersebut adalah melalui :
1.
Kelaziman Operasional.
Kelaziman operasi bank yang
menyangkut pada penghimpunan dana masyarakat seperti melalui giro, tabungan,
deposito dan lain sebagainya. Adapun setelah melakukan penghimpunan dana
tersebut bank perlu untuk menyebarkan dana tersebut kepada masyarakat yaitu
melalui pemberian kredit. Dalam operasi tersebut bank mengadakan pencatatan
serta mengumpulkan data dan informasi yang berhubungan dengan usahanya maupun
yang berhubungan dengan nasabahnya, contoh : dengan nasabah peminjam.
Pencatatan transaksi merupakan
kewajiban bank guna memnuhi kebutuhan akan data pokok yang harus dipenuhinya.
Setiap bank harus mengadakan pencatatan untuk memberikan data bagi pelaporan –
pelaporan seperti pelaporan pada Bank Indonesia sebagai Bank Sentral, pelaporan
untuk pajak, pelaporan untuk pemegang saham, pelaporan untuk nasabah dan
sebagainya. Dari pencatatan itulah sebuah data diolah menjadi suatu laporan
yang informatif dan mudah dimengerti oleh mereka yang menerimanya. Data dan
informasi tersebut merupakan milik bank yang secara umumnya bisa dikategorikan
merupakan rahasia bank.
Sebelum transaksi yang dilakukan
antara bank dengan nasabah, bank terlebih dahulu memeriksa identitas nasabah
tersebut. Jika seseorang nasabah tidak bertindak untuk dirinya sendiri, maka
perlu disertai dengan tegas wewenangnya untuk bertindak atas nama orang lain
baik untuk badan hukum maupun untuk pihak lainnya. Biasanya identifikasi juga
dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap referensi – referensi yang
diajukan. Transaksi yang telah dilakukan akan dikumpulkan ke dalam dokumen
tertentu dan dokumen tersebut nantinya akan disimpan secara permanen oleh bank.
2.
Pencatatan Pada Bank.
Pencatatan yang teliti dan memadai
dalam operasi bank atau transaksi yang dilakukan bank merupakan suatu
keharusan. Memadai atau tidaknya catatan itu diukur dengan kesanggupannya
memenuhi berbagai permintaan terhadap informasi mengenai setiap kegiatan bank.
Bila pencatatan dan administrasi perbankan kurang baik maka kelancaran kegiatan
perbankan akan mendapat gangguan. Dengan demikian pencatatan dan pengarsipan
semua kegiatan perbankan yang dilakukan oleh bank adalah merupakan tanggung
jawab dan kewajiban yang tidak dapat dihindari. Dalam perkembangan teknologi
informasi yang ada sekarang ini, maka pencatatan kegiatan perbankan saat ini
serta penyimpanannya dapat pula dilakukan dengan menggunakan perangkat data
elektronik (komputer).
Keuntungan bagi
nasabah dengan adanya teknologi ini adalah nasabah dapat terlayani dengan lebih
cepat dan lebih nyaman. Sedangkan keuntungan bagi bank sendiri adalah
memberikan pelayanan kepada nasabah dengan lebih baik lagi serta dapat
mengamankan dokumen penting tanpa memerlukan tempat atau ruangan yang luas.
Sebagai lembaga yang bertumpu pada kepercayaan
masyarakat, sudah seharusnya bank berusaha memberikan jaminan pada masyarakat
bahwa bank aman dan mampu merahasiakan keterangan atau informasi mengenai
nasabah dan simpanannya. Bank harus mempunyai pedoman, kebijakan, organisasi
dan prosedur kerja khususnya mengenai rahasia bank dan rahasia jabatan. Pedoman-pedoman itulah yang
nantinya dipergunakan oleh bank dalam menjalankan segala kegiatannya sehingga
bank dapat tetap menjaga kepercayaan masyarakat tersebut. Selebihnya penilaian
selanjutnya akan dikembalikan kepada masyarakat itu sendiri apakah bank
tersebut dapat dipercaya atau tidak.
Secara umum ketentuan rahasia bank
dipandang seringkali menimbulkan benturan antara kepentingan nasabah dan kepentingan
bisnis bank itu sendiri. Akan tetapi walaupun demikian keadaannya, bank harus
tetap memegang teguh ketentuan rahasia bank ini.
B.
Sanksi Terhadap Pelanggaran Rahasia Bank
Apabila ada
perjanjian antara bank dengan nasabah, maka rahasia bank bersifat kontraktual.
Sehingga apabila bank memberikan keterangan tentang keadaan keuangan
nasabahnya, bank dapat digugat oleh nasabahnya berdasarkan alasan wanprestasi
(cidera janji). Sebaliknya, meskipun tidak ada perjanjian antara bank dan
nasabah, namun bank tetap berkewajiban untuk mempertahankan rahasia bank
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan atau konsep hukum lainnya, seperti konsep ”perbuatan
melawan hukum”. Artinya dalam hal bank memberikan keterangan tentang nasabahnya
yang merugikan nasabah, bank dapat dituntut oleh nasabahnya dengan alasan
perbuatan melawan hukum. Untuk hal ini nasabah harus dapat membuktikan bahwa
kerugian yang dialaminya sebagai akibat dari pembocoran rahasia bank tersebut.
Masalah tindak
pidana perbankan merupakan bagian yang tidak bisa ditinggalkan bila dibahas
hukum perbankan. Sudah sepatutnya setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
hukum akan diberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran tersebut. Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, pelanggaran terhadap
ketentuan rahasia bank dikategorikan sebagai ”tindak pidana kejahatan”. Oleh
karena itu, pelanggar ketentuan rahasia bank apabila dibandingkan dengan
hanya sekedar pelanggaran perlu diberi sanksi hukum pidana yang lebih berat
lagi. Sanksi pidana tersebut bukan hanya sebagai pelengkap suatu peraturan
dalam bidang perbankan, melainkan diperlukan guna ditaatinya peraturan tersebut.
Seperti diatur dalam
Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Perbankan yang mengatur pelanggaran ketentuan rahasia bank yang
menyangkut keadaan keuangan individual nasabah bank sebagai pelanggaran pidana
biasa bukan delik aduan. Tetapi sejak berlakunya ketentuan pidana terhadap
pelanggaran ketentuan rahasia bank yang dimulai tahun 1960 dengan PERPU Nomor
23 Tahun 1960 belum ada satupun kasus pidana yang sampai ke pengadilan.
Penyelesaian secara pidana paling jauh hanya sampai di tingkat Kejaksaan, kemudian
perkara tersebut dihentikan, dengan alasan sudah tercapai perdamaian di antara
para pihak.
Ada 1 kasus perdata
yang berkaitan dengan pelanggaran ketentuan rahasia bank yang telah
diselesaikan oleh Pengadilan Tinggi Palangkaraya (Putusan Pengadilan No.
28/PDT/2001/PT.PR, 11 Desember 2001). Dalam kasus ini nasabah bank menggugat
bank dan kantor pajak dengan dasar perbuatan melawan hukum, yang memberikan
keterangan yang bersifat rahasia bank yang merugikan kepentingan nasabah bank.
Dalam hal ini nasabah dimenangkan baik pada tingkat Pengadilan Negeri
(Pengadilan Pangkalan Bun) dan Pengadilan Tinggi Palangkaraya.
Menurut sistem
Undang-Undang Perbankan, maka sanksi pidana atas pelanggaran prinsip kerahasiaan bank ini
bervariasi. Ada 3 ciri khas dalam hal sanksi pidana terhadap pelanggaran
rahasia bank dalam Undang-Undang Perbankan ini, sebagaimana juga terhadap sanksi-sanksi pidana
lainnya dalam Undang-Undang Perbankan yang bersangkutan. Ciri khas dari sanksi pidana
terhadap pelanggaran prinsip rahasia bank, yaitu sebagai berikut :
1. Terdapat ancaman hukuman minimal disamping ancaman hukuman
maksimal.
2. Antara ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda bersifat
kumulatif, bukan alternatif.
3.
Tidak ada
korelasi antara berat ringannya ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda.
Dalam kaitannya
dengan pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank ini, membawa konsekuensinya
kepada bank untuk wajib memberikan keterangan yang diminta. Hal ini ditegaskan
dalam Pasal 42 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, bahwa bank wajib
memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan
Pasal 42. Ini berarti bank wajib memberikan keterangan yang diminta demi hukum
dalam rangka pemeriksaan perpajakan, penyelesaian piutang bank, dan pemeriksaan
peradilan pidana.
Ancaman hukuman
pidana terhadap pelaku tindak pidana di bidang perbankan menurut Undang-Undang Perbankan
dapat dibagi dalam 3 kategori sebagai berikut :
1.
Pidana
penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal
10 milyar rupiah dan maksimal 200 milyar rupiah. Pidana penjara minimal 2 (dua)
tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal 10 milyar rupiah dan
maksimal 200 milyar rupiah diancam terhadap barang siapa yang tanpa membawa
perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau
pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
40 Undang-Undang Perbankan.
2.
Pidana
penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal
4 milyar rupiah dan maksimal 8 milyar rupiah.
Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan
maksimal 4 (empat) tahun serta denda minimal 4 milyar rupiah dan maksimal 8
milyar rupiah tersebut diancam terhadap para anggota dewan komisaris, direksi,
pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan
keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40 Undang -Undang
Perbankan.
3.
Pidana
penjara minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 7 (tujuh) tahun serta denda minimal
4 milyar rupiah dan maksimal 15 milyar rupiah. Pidana penjara minimal 2 (dua) tahun dan
maksimal 7 (tujuh) tahun serta denda minimal 4 milyar rupiah dan maksimal 15
milyar rupiah tersebut diancam kepada anggota dewan komisaris, direksi atau
pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib
dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A Undang-Undang
Perbankan.
Dari semua sanksi-sanksi yang
dinyatakan dalam Undang-Undang tersebut tidak dirinci mengenai pelanggaran yang dilakukan
oleh Dewan Gubernur atau Gubernur Bank Indonesia sendiri. Karena dalam batas-batas pelanggaran
sama sekali tidak mencantumkan kemungkinan mengenai pelanggaran yang dilakukan
oleh Dewan Gubernur maupun Gubernur Bank Indonesia.
Selain itu, dari
segi perdata pelaku dapat dituntut ganti rugi atas alasan perbuatan melawan
hukum (tort of law) karena telah melanggar Pasal 40. Atas
pelanggarannya, pelaku diancam dengan tuntutan ganti rugi sesuai dengan Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Meskipun atas pelanggaran Pasal 40 pelaku telah dijatuhi hukuman pidana,
namun hal tersebut tidak mengurangi hak bagi pihak korban untuk menuntut ganti
rugi perdata. Pembukaan rahasia bank seseorang selain melanggar Undang-Undang (violation a statutory) juga melanggar hak nasabah (violation
of a right) yang dapat mendatangkan kerugian kepada nasabah. Penerapannya
dapat disetujui sepanjang pelanggaran dilakukan terhadap kepentingan nasabah
atau debitur yang beritikad baik.
1. Setiap bank wajib memegang teguh prinsip rahasia bank. Adapun
salah satu bentuk upaya yang dapat dilakukan bank di dalam menjaga keamanan
rahasia bank adalah apabila ada orang yang menanyakan identitas dari nasabah,
atau aktivitasnya di bank selain dari ketiga pihak yang berwenang yaitu
Kejaksaan, Kepolisian dan Pengadilan, maka bank tidak memberikan informasi
apapun. Bank akan merahasiakannya. Dengan melakukan upaya menjaga keamanan
rahasia bank berarti secara tidak langsung juga menjaga keamanan keuangan
nasabah karena rahasia bank mencakup perlindungan terhadap nasabah dan
simpanannya.
Disamping itu,
upaya lain yang dilakukan oleh bank untuk menjaga keamanan rahasia bank
tersebut adalah melalui :
a.
Kelaziman
Operasional; dan
b.
Pencatatan
Pada Bank.
Secara umum
ketentuan rahasia bank dipandang seringkali menimbulkan benturan antara
kepentingan nasabah dan kepentingan bisnis bank itu sendiri. Akan tetapi
walaupun demikian keadaannya, bank harus tetap memegang teguh ketentuan rahasia
bank ini.
2. Masalah tindak pidana perbankan merupakan bagian yang tidak bisa
ditinggalkan bila kita membahas hukum perbankan. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank
dikategorikan sebagai ”tindak pidana kejahatan”. Oleh karena itu pelanggar
ketentuan rahasia bank, apabila dibandingkan dengan hanya sekedar pelanggaran,
perlu diberi sanksi hukum pidana yang lebih berat lagi. Sanksi pidana tersebut
bukan hanya sebagai pelengkap suatu peraturan dalam bidang perbankan melainkan
diperlukan guna ditaatinya peraturan tersebut.
Menurut
sistem Undang-Undang Perbankan, maka sanksi pidana atas pelanggaran prinsip kerahasiaan bank ini
bervariasi. Ada 3 ciri khas dalam hal sanksi pidana terhadap pelanggaran
rahasia bank, yaitu :
a.
Terdapat
ancaman hukuman minimal disamping ancaman hukuman maksimal;
b.
Antara
ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda bersifat kumulatif, bukan
alternatif;
c.
Tidak ada
korelasi antara berat ringannya ancaman hukuman penjara dengan hukuman denda.
Selain itu,
dari segi perdata pelaku dapat dituntut ganti rugi atas alasan perbuatan
melawan hukum (tort of law) karena telah melanggar Pasal 40. Atas
pelanggarannya, pelaku diancam dengan tuntutan ganti rugi sesuai dengan Pasal
1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
dia� z e `� �� s–menerus
agar dapat berfungsi dengan efisien, sehat, wajar, mampu bersaing dan dapat melindungi
dana yang disimpan oleh nasabah dengan baik serta mampu menyalurkan dana simpanan
tersebut kepada sektor–sektor produksi yang benar–benar produktif sesuai dengan
sasaran pembangunan. Sehingga dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman
tersebut tidak sia–sia.
Sebaliknya, nasabah yang mempercayakan dana simpanannya untuk dikelola oleh
pihak bank juga harus mendapat perlindungan dari tindakan yang dapat merugikan
nasabah yang mungkin dilakukan pengelola bank. Selain itu untuk menjaga nama
baik nasabah, maka harus diatur kapan dan dalam hal yang bagaimana bank
diperkenankan untuk memberikan informasi kepada pihak ketiga mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal–hal lain dari nasabah yang
diketahui oleh bank. Nasabah hanya akan mempergunakan jasa bank untuk menyimpan
dananya apabila ada jaminan dari bank bahwa pihak bank tidak akan
menyalahgunakan pengetahuannya tentang simpanan dan keadaan keuangan
nasabahnya.
Dalam rangka menghindari terjadinya penyalahgunaan keuangan
nasabah, maka dibuatlah aturan khusus yang melarang bank untuk memberikan
informasi tercatat kepada siapapun berkaitan dengan keadaan keuangan nasabah,
simpanan dan penyimpanannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan kecuali dalam hal-hal tertentu yang
disebutkan secara tegas didalam undang-undang tersebut. Hal inilah yang disebut dengan “Rahasia Bank”.
Pembangunan ekonomi suatu negara disamping memerlukan program
pembangunan yang terencana dan terarah untuk mencapai sasaran pembangunan, maka
faktor lain yang dibutuhkan adalah modal/dana pembangunan yang cukup besar.
Peningkatan pembangunan ekonomi ataupun pertumbuhan ekonomi perlu ditunjang
dengan peningkatan dana pembangunan. Umumnya suatu negara mengalami
keterbatasan dalam penyediaan dana pembangunan, untuk itu diperlukan mobilisasi
dana dari masyarakat.
Disinilah diperlukannya peranan perbankan, terutama dikarenakan kemampuannya
untuk menggali sumber-sumber dana dari dalam dan luar negeri serta menyalurkannya dalam
bentuk pinjaman kepada para pelaku usaha yang membutuhkannya agar mampu menjadi salah satu katalisator
penting dalam pembangunan ekonomi nasional.
Oleh karena itu kelancaran dan keamanan kegiatan perbankan
haruslah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua aparat penegak hukum, karena apabila terjadi tindak
pidana dalam bidang perbankan akan menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi
negara. Oleh sebab itu segala usaha preventif maupun represif harus digalakkan
untuk menanggulangi kejahatan perbankan tersebut.
Pelanggaran terhadap rahasia bank merupakan salah satu bentuk
kejahatan. Yang menjadi masalah bukan hanya karena adanya pembocoran rahasia,
akan tetapi kenyataan bahwa rahasia bank itu kadang kala dijadikan sebagai
tempat berlindung bagi penyelewengan administrasi dan kolusi pada perbankan.